Sabtu, 13 Januari 2018

Mengajarkan Digital Literacy pada Anak

📢 Ganjar Widhiyoga, Ph. D
📝 @ArtieTeja
🏡 Seminar Nasional by STPI Bina Insan Mulia, 14012018

Mengajarkan Digital Literacy pada Anak

Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat membuat proses produksi alat-alat elektronik yang kita kenal sebagai *"gawai" (gadged)*.  Bahkan mempengaruhi pola interaksi dalam pendidikan,  keluarga,  sosial,  dan khususnya pada kehidupan anak. 

Kita perlu mempertanyakab bagaimaba mendidik anak-anak untuk lebih bertanggung jawab dalam menggunakan gawainya.

Pendidikan sangat penting karena gawau tidak hanya membawa manfaat positif melainkan juga membawa imbas negatif pada anak-anak.

Bagaimana mengajarkab pola penggunaan gawai yang aman pada anak-anak,  yang kita kenal dengan istilah *digital literacy*.

Digital literacy adalah kemampuan untuk menggunakab informasi dan teknologi komunikasi untuk mencari,  mengevaluasi,  menciptakab,  dan menyampaikan informasi yang kesemuanya ini meliputi kemampuan kognitif dan teknis.

Tiga kategori digital literacy,  yaitu (Spires dan Bartlett):
1. Kemampuan untuk menemukan dan mengkomsumsi konten digital.
2. Menciptakan konten digital.
3. Mengkomunikasikan konten digital.

Untuk melaksanakan ketiga hal tersebut,  seseorang harus memiliki kemampuab untuk memilih dan memilah informasi, mengingat perkembangan informasi di dunia maya sangat cepat dengab berbagai jenis sumber informasu yang patut dikaji tingkat kesahihannya.

Konsep digital literacy dapat dikenalkan dengan konsep *DQ (Digital Quotient)* atau kecerdasan digital (Yuhyun Park,  doseb Nanyang Technological University).

DQ adalah kemampuan untuk mengambil informasi, mengolah,  dan menciptakan konten baru.

Sebelum anak dapat menciptakan konten baru dan berkontribusi dalam dunia digital,  para orangtua dan guru harus mengajarkan terlebih dahulu tata krana dalam dunia digital,  yang disebut dengan *digital citizenship*.

Park menyampaikab ada 8 tata krama dalan dunia digital yang harus dipahami setiap anak,  yaitu:
1. *Digital Citizen Identity*
orangtua dan guru harus mengajarkan pada anak untuk membangun identitas digital yang sehat,  teritegrasi antara identitas luring (offline)  dan daring (online).
2. *Privacy Management*
anak-anak harus diajari untuk selektif dalan menjalin koneksi,  untuk waspada pada profile asing untuk menjaga apa yang mereka kirim tidak mengancan keamanan mereka.
3. *Critical Thinking*
anak harus diajari untuk membedakan informasi yang nyata dan palsu,  konten yang amab dan berbahaya,  dan harus dilatih membedakan kontak/akun yang dapat dipercaya dan yang harus diwaspadai.
4. *Digital Footprints*/rekam jejak digital
anak harus memahami bahwa apa yang mereka kirim ke dunia digital akan terus bertahan di sana,  ada rekam jejak digital yang tidak dapat dihapus,  bahkan akan terus menyebar.
5. *Digital Empathy*
Ketidakmampuan berempati akan dapat berujung pada *cyber bullying* atau lebih parah lagi.
6. *Cyber Security Management*
anak-anak perlu belajar bagaimana membuat kata sandi yang aman,  tidak melakukan transaksi daring dengan CC keluarga,  dan perlu belajar bagaimana menjaga perangkat keras (komputer,  laptop,  hp,  tablet,  dll)  dari serangan virus. 
7. *Cyber Bullying Management*
anak-anak harus memiliki kemampuan untuk mendeteksi cyber bullying dan paham apa yang harus mereka lakukan ketika menyaksikan atau ketika menjadi korban cyber bullying.
8. *Screen Time Management*
segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik,  demikian pula dengan aktivitas berlebihan di dunia maya.  Anak-anak harus dididil untul mampu membatasi diri,  menghentikan aktivitas daring mereka dan beraktivitas di dunia maya. Kemampuan ini yanh menjadi kunci pengaman anak-anak sehingga tidak kecanduan dunia maya,  baik dalam bentuk kecanduan game,  kecanduan ber-sosmed ataupun bentuk-bentuk kecanduan lain.

Bayi sampai balita berusia 2 tahub tidak boleh terpapar oleh gawai dan aktivitas digital.

Menurut AAP,  pada usia 3-5 tahun,  balita akan mendapatkan manfaat dari konten digital jika ada orang dewasa yang mendampingi dan menjelaskab kembali isi konten digital itu pada sang bayi.

Imbas negatif pada bayi dan balita seperti penurunan kualitas tidur bayi dan balita, kecenderungan mengalami obesitas dan pengaruh buruk pada perilaku bayi dan balita.

Selain masalah kesehatan,  gawai juga mengenalkan bahaya lain pada anak-anak dan remaja,  mengakibatkan kehilangan minat untuk berinteraksi di dunia nyata,  membuat mereka tidak mampu mengembangkan kemamphan interpersonal dan bahkan menarik diri dari dunia nyata (*withdrawal symptomps*).

Hasil penelitian menyatakan bahwa orang-orang yang konsumtif dalam perilaku sosial media mereka lebih rentan terhadap depresi dibandingkan dengan orang-orang yang kreatif dan mampu membuat konten sendiri.

Penguasaan digital literacy akan membantu perkembangan minat baca dengan menyediakan konten yang sangat kaya bagi perkembangan pengetahuan anak-anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar