Kamis, 23 Oktober 2014

Metode Pengembangan Bahasa Anak Usia Dini (part 1)





Hakikat Pengembangan Bahasa




Bahasa merupakan sarana yang paling penting dalam komunikasi manusia. Bahasa bersifat unik sekaligus bersifat universal bagi manusia. Dalam kenyataan kegiatan sehari-hari kita amati bahwa hanya manusialah yang mampu menggunakan komunikasi verbal dan kita amati pula bahwa manusia mampu mempelajarinya.
Bahasa adalah satu aspek penting dalam perkembangan kognitif dan dianggap sebagai kunci dari perkembangan kognitif.  Melalui bahasa ,manusia dapat berkomunikasi dan belajar tentang konsep-konsep dunia. Bahasa ialah satu sistem terstruktur melalui bunyi-bunyi vokal dan urutan bunyi-bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi  ( John, B.Carol).
Berbagai pendapat tentang teori pengembangan bahasa dikemukakan oleh para ahli. Pemahaman akan berbagai teori pengembangan bahasa dapat memengaruhi penerapan metode implementasi terhadap pengembangan bahasa anak, sehingga diharapkan pendidik mampu mencari dan membuat bahan pengajaran yang sesuai dengan tingkat usia anak. Beberapa teori mengenai hal ini antara lain:
  1. Teori "Behaviorist" oleh Skinner, mendefinisikan bahwa pembelajaran dipengaruhi oleh perilaku yang dibentuk oleh lingkungan eksternalnya, artinya pengetahuan merupakan hasil dari interaksi dengan lingkungannya melalui pengondisian stimulus yang menimbulkan respons. Perubahan lingkungan pembelajaran dapat memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku anak secara bertahap. Perilaku positif pada anak cenderung akan diulang ketika mendapat dorongan yang sesuai dengan kemampuan anak dari lingkungannya. Latihan untuk anak harus menggunakan bentuk-bentuk pertanyaan (stimulus) dan jawaban (respons) yang dikenalkan secara bertahap, mulai dari yang sederhana sampai pada yang lebih rumit.
  2. Teori "Nativist" oleh Chomsky", mengutarakan bahwa bahasa sudah ada di dalam diri anak. Saat seorang anak dilahirkan, ia telah memiliki serangkaian kemampuan berbahasa yang disebut "Tata Bahasa Umum" atau "Universal Grammar". Anak tidak sekadar meniru bahasa yang ia dengarkan, tapi ia juga mampu menarik kesimpulan dari pola yang ada. Ini karena anak memiliki sistem bahasa yang disebut Perangkat Penguasaan Bahasa (Language Acquisition Devise/LAD). Menurut teori ini, anak perlu mendapatkan model pembelajaran bahasa sejak dini. Anak akan belajar bahasa dengan cepat, terutama untuk bahasa kedua, sebelum usia 10 tahun.
  3. Teori "Constructive" oleh Piaget, Vigotsky, dan Gardner, menyatakan bahwa perkembangan kognisi dan bahasa dibentuk dari interaksi dengan orang lain. Anak memiliki perkembangan kognisi yang terbatas pada usia-usia tertentu, tetapi melalui interaksi sosial anak akan mengalami peningkatan kemampuan berpikir. Pengaruhnya dalam pembelajaran bahasa adalah anak akan dapat belajar dengan optimal jika diberikan kegiatan. Dalam kegiatan itu, anak perlu didorong untuk sering berkomunikasi. Adanya anak yang lebih tua usianya atau orang dewasa yang mendampingi pembelajaran dan mengajak bercakap-cakap, akan menolong anak menggunakan kemampuan berbahasa yang lebih tinggi atau melejitkan potensi kecerdasan bahasa yang sudah dimiliki anak. Oleh karena itu, pendidik perlu menggunakan metode yang interaktif; menantang anak untuk meningkatkan pembelajaran dan menggunakan bahasa yang berkualitas.
Pada awal permulaan, fikiran dan bahasa berkembang secara terpisah dan saling mempengaruhi. Bahasa berkembang tanpa fikiran dan sebaliknya sampai anak berumur 2 tahun. Pada umur 2 tahun, fikiran dan bahasa mulai berkait dimana kepahaman bahasa berkembang dan bahasa dijadikan sebagai alat bantu dalam membuat pencapaian.
Tahap perkembangan bahasa berbicara anak secara umum terbagi atas dua periode besar, yaitu: periode Prelinguistik (0-1 tahun) dan Linguistik (1-5 tahun). Mulai periode linguistik inilah mulai hasrat anak mengucapkan kata kata yang pertama, yang merupakan saat paling menakjubkan bagi orang tua. Periode linguistik terbagi dalam tiga fase besar, yaitu:
1. Fase satu kata atau Holofrase
Pada fase ini anak mempergunakan satu kata untuk menyatakan pikiran yang kornpleks, baik yang bcrupa keinginan, perasaan atau temuannya tanpa pcrbedaan yang jelas. Pada umumnya kata pertama yang diurapkan oleh anak adalah kata benda, setelah beberapa waktu barulah disusul dengan kata kerja.
2. Fase lebih dari satu kata
Fase dua kata muncul pada anak berusia sekkar 18 bulan. Pada fase ini anak sudah dapat membuat kalimat sederhana yang terdiri dari dua kata. Kalimat tersebut kadang-kadang terdiri dari pokok kalimat dan predikat, kadang-kadang pokok kalimat dengan obyek dengan tata bahasa yang tidak benar. Setelah dua kata, muncullah kalimat dengan tiga kata, diikuti oleh empat kata dan seterusnya. Pada periode ini bahasa yang digunakan oleh anak tidak lagi egosentris, dari dan uniuk dirinya sendiri. Mulailah mcngadakan komunikasi dengan orang lain secara lancar. Orang tua mulai melakukan tanya jawab dengan anak secara sederhana. Anak pun mulai dapat bercerita dengan kalimat-kalimatnya sendiri yang sederhana.
3. Fase ketiga adalah fase diferensiasi
Periode terakhir dari masa balita yang berlangsung antara usia dua setengah sampai lima tahun. Keterampilan anak dalam berbicara mulai lancar dan berkembang pesat. Dalam berbicara anak bukan saja menambah kosakatanya yang mengagumkan akan tetapi anak mulai mampu mengucapkan kata demi kata sesuai dengan jenisnya, terutama dalam pemakaian kata benda dan kata kerja. Anak telah mampu mempergunakan kata ganti orang “saya” untuk menyebut dirinya, mampu mempergunakan kata dalam bentuk jamak, awalan, akhiran dan berkomunikasi lebih lancar lagi dengan lingkungan. Anak mulai dapat mengkritik, bertanya, menjawab, memerintah, memberitahu dan bentuk-bentuk kalimat lain yang umum untuk satu pembicaraan “gaya” dewasa.
Vygostky menjelaskan ada 3 tahap perkembangan bicara pada anak yang berhubungan erat dengan perkembangan berpikir anak yaitu :
1. Tahap eksternal. Yaitu terjadi ketika anak berbicara secara eksternal dimana sumber berpikir berasal dari luar diri anak yang memberikan pengarahan, informasi dan melakukan suatu tanggung jawab dengan anak.
2. Tahap egosentris. Yaitu dimana anak berbicara sesuai dengan jalan pikirannya dan dari pola bicara orang dewasa.
3. Tahap Internal.Yaitu dimana dalam proses berpikir anak telah memiliki suatu penghayatan kemampuan berbicara sepenuhnya.
Vygotsky percaya bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial dan budaya.  Melalui  interaksi sosial dengan orang tua, guru, rekan, orang dewasa lain, sekolah dan sebagainya. Bayi lahir dengan beberapa “fungsi asas mental” (elementary mental function), yaitu perhatian, sensasi, persepsi dan memori.
Menurut Vygotsky , selain berkomunikasi dengan orang lain untuk mempelajari kemampuan baru atau kemampuan yang lebih sukar, anak-anak juga berkomunikasi dengan diri mereka sendiri (egocentric speech)
Vygotsky berpandangan bahwa perkembangan kognitif adalah hasil dari proses-proses atau aktivitas berbahasa. Anak usia dini belajar tentang masyarakat dan penyelesaian masalah dari orang-orang sekeliling mereka melalui bahasa.
Peran bahasa:
1)      Menerangkan dan menyampaikan berbagai masalah dan pengetahuan yang ada dalam masyarakat dan budaya kepada anak-anak.
2)      Menjadi alat penyelesaian masalah yaitu ditunjukkan oleh orang dewasa dan dicontohi atau diikuti oleh anak-anak.
Bagi anak bicara tidak sekedar merupakan prestasi akan tetapi juga berfungsi untuk mencapai tujuannya, misalnya:
1)  Sebagai pemuas kebutuhan dan keinginan. Dengan berbicara anak mudah untuk mcnjclaskan kebutuhan dan keinginannya tanpa harus menunggu orang lain mengerti tangisan, gerak tubuh atau ekspresi wajahnya. Dengan demikian kemampuan berbicara dapat mengurangi frustasi anak yang disebabkan oleh orang tua atau lingkungannya tidak mengerti apa saja yang dimaksudkan oleh anak.
2)   Sebagai alat untuk menarik perhatian orang lain. Pada umumnya setiap anak merasa senang menjadi pusat perhatian orang lain. Dengan melalui keterampilan berbicara anak berpendapat bahwa perhatian Orang lain terhadapnya mudah diperoleh melalui berbagai pertanyaan yang diajukan kepada orang tua misalnya apabila anak dilarang mengucapkan kata-kata yang tidak pantas. Di samping itu berbicara juga dapat untuk menyatakan berbagai ide, sekalipun sering kali tidak masuk akal-bagi orang tua, dan bahkan dengan mempergunakan keterampilan berbicara anak dapat mendominasi situasi “.ehingga terdapat komunikasi yang baik antara anak dengan teman bicaranya.
3)  Sebagai alat untuk membina hubungan sosial. Kemampuan anak berkomunikasi dengan orang lain merupakan syarat penting untuk dapat menjadi bagian dari kelompok di lingkungannya. Dengan keterampilan berkomunikasi anak-anak Icbih mudah diterima oleh kelompok sebayanya dan dapat mempcroleh kescmpatan Icbih banyak untuk mendapat peran sebagai pcmimpin dari suatu kelompok, jika dibandingkan dengan anak yang kurang terampil atau tidak memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik.
4)  Sebagai alat untuk mengevaluasi diri sendiri. Dari pernyataan orang lain anak dapat mengetahui bagaimana perasaan dan pendapat orang tersebut terhadap sesuatu yang telah dikatakannya. Di samping anak juga mendapat kesan bagaimana lingkungan menilai dirinya. Dengan kata lain anak dapat mengevaluasi diri melalui orang lain.
5)   Untuk dapat mempengaruhi pikiran dan peiasaan orang lain. Anak yang suka berkomentar, menyakiti atau mengucapkan sesuatu yang tidak menyenangkan tentang orang lain dapat menyebabkan anak tidak populer atau tidak disenangi lingkungannya. Sebaliknya bagi anak yang suka mcngucapkan kata-kata yang menyenangkan dapat merupakan medal utama .bagi anak agar diterima dan mendapat simpati dari lingkungannya.
6)   Untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Dengan kemampuan berbicara dengan baik dan penuh rasa percaya diri anak dapat mempengaruhi orang lain atau teman sebaya yang berperilaku kurang baik menjadi teman yang bersopan santun. Kemampuan dan keterampilan berbicara dengan baik juga dapat merupakan modal utama bagi anak untuk menjadi pemimpin di lingkungan karena teman sebryanya menaruh kepercayaan dan simpatik kepadanya.

Kecerdasan Visual-Spasial Anak Usia Dini Autis

Istilah kecerdasan visual-spasial muncul bersamaan dengan diketemukannya kecerdasan majemuk oleh Howard Gardner. Sebab kecerdasan visual-spasial merupakan salah satu bagian dari 9 kecerdasan majemuk yang dimunculkan olehnya. Howard Gardner mengenalkan dan mempublikasikan kecerdasan ini pada tahun 1983.[1]
Kecerdasan visual-spasial merupakan kemampuan untuk memahami gambar dan bentuk termasuk kemampuan untuk mengintepretasi dimensi ruang yang tidak dapat dilihat. Anak yang memiliki kecerdasan visual-spasial cenderung berpikir dengan gambar dan sangat baik ketika belajar melalui presentasi visual seperti film, gambar, dan permainan dengan alat peraga. Anak-anak dengan kecerdasan visual-spasial juga menyukai aktivitas menggambar, mengecat, mengukir, dan biasa mengungkapkan diri mereka melalui aktivitas seni.
Anak-anak autis paling baik belajar secara visual dan menyusun segala sesuatu secara visual (melalui penglihatan). Mereka suka melihat apa yang sedang dibicarakan agar dapat memahaminya. Mereka menyukai gambar, grafik, peta, tabel, ilustrasi, seni, puzzle, kostum, dan apapun yang tertangkap mata.[2] Anak yang cerdas visual-spasialnya berbakat untuk menjadi seorang arsitek atau disainer di masa dewasanya nanti. Dalam bukunya Howard Gardner menyatakan hanya sedikit anak berbakat di antara artis yang tidak buta, tetapi ada idiot savant seperti Nadia (Selfe, 1977), walaupun menderita autisme berat, anak prasekolah ini membuat lukisan yang mewakili ketepatan dan kecerdikan paling luar biasa.[3]
Autisme adalah satu dari lima kelainan yang berada di bawah Pervasive Development Disorder (PDD), yaitu kelainan neurologis yang ditandai dengan kelemahan akut dan meluas dalam area pertumbuhan. Anak-anak dengan autisme biasanya menunjukkan kesulitan dalam komunikasi verbal dan non-verbal, interaksi sosial, dan kegiatan bermain atau bersenang-senang.[4] Biasanya, dalam metode pembelajaran untuk anak autis disesuaikan dengan kemampuan yang anak miliki, serta hambatan yang dimiliki anak saat mereka belajar, serta gaya belajar atau learning style pada masing-masing anak. Metode yang biasanya diberikan adalah bersifat kombinasi dari beberapa metode. Meskipun tidak terlalu banyak, ada juga anak yang menderita autisme yang memiliki respon yang baik terhadap stimulus visual-spasial sehingga metode belajar yang menggunakan stimulus visual-spasial sangat diutamakan bagi mereka.[5]
Menurut Dr. Hardiono, gangguan autisme ditandai tiga gejala utama yaitu gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan gangguan perilaku yang stereotipik.[6] Dikatakan bahwa penderita autis mempunyai kepekaan terhadap hal-hal yang bersifat audio dan visual yang terstimulasi oleh kejadian sehari-hari. Dalam hal ini, Kuntz menggaris bawahi bahwa kondisi tersebut sebagai kelebihan mereka.[7] Bisa jadi, bila hal ini merupakan kekuatan pada penderita autis maka kekuatan inilah yang menjadi peluang untuk membangun kemampuan mereka.
Sebagian anak autis yang memiliki respon terhadap stimulus visual-spasial belajar lebih baik dengan menggunakan penglihatannya. Ciri anak autis dengan kekuatan visual-spasial adalah senang mainan puzzle, bentuk-bentuk, TV terutama film kartun, menyukai huruf, angka, dan kadang-kadang dapat membaca tanpa diajari. Media gambar dianggap  efektif  dalam pembelajaran anak autis. Dengan diperlihatkan gambar, anak autis dapat berkonsentrasi. Dengan melihat visualisasi  tersebut, anak autis meyerap dan menerima informasi lebih lama. Alat bantu visual dapat membantu anak autis mengerti tentang sesuatu, mengeri konsep, menyatakan keinginannya, membantu berkomunikasi dengan cara lain.
Autisme masa kanak-kanak merupakan gangguan pervasive yang ditandai dengan adanya kelainan atau ganguan perkembangan yang muncul sebelum usia tiga tahun. Ganguan ini ditandai oleh adanya hambatan dalam bidang interaksi sosial, komunikasi dan perilaku serta minat yang terbatas dan diulang-ulang. Gangguan tersebut bersumber pada gangguan otak bagian interaksi sosial dan komunikasi, sehingga para penyandang autism mengalami kesulitan pada komunikasi verbal dan non verbal, interaksi sosial, aktivitas bermain dan bersantai. Kesulitan ini menyebabkan anak kesulitan melakukan interaksi dengan orang lain atau dunia luar. Autisme merupakan gangguan perkembangan pada anak-anak yang bercirikan anak seolah-olah hidup dengan dirinya sendiri dan seperti tidak ada kontak dengan orang lain.[8]
Dalam pedoman kurikulum untuk autisme terdapat materi yang mengembangkan kecerdasan visual-spasial yaitu materi pre-akademik terdiri dari:[9]
1)        Mencocokkan
a)      benda-benda yang identik.
b)      bentuk yang identik.
c)      Warna yang identik.
d)     Asosiasi (hubungan) antara berbagai benda.
2)        Menyelesaikan aktivitas sederhana secara mandiri.
a)      Menyatukan pola.
b)      Menjahit pola.
c)      Menempel saku.
3)        Identifikasi warna (mengidentifikasi warna pola).
4)        Identifikasi bentuk (mengidentifikasi bagian-bagian pola).
Sehingga diharapkan dengan My Costume dapat memberikan efek pemfokusan dalam pembelajaran visual-spasial yang berimpilkasi pada perkembangan keceerdasan visual-spasial anak usia dini autis. Pengembangan My Costume akan dispesifikasikan pada aspek perkembangan pre-akademik yaitu mencocokan, menyelesaikan aktivitas sederhana secara mandiri, identifikasi warna, dan identifikasi bentuk.


[1] Munif Chatib, Sekolahnya Manusia (Bandung : Kaifa, 2011), hlm. 70.
[2] George S. Morisson, Dasar-Dasar ..............., hlm: 86.
[3] Howard Gardner, Multiplle .................., hlm. 46.
[4] George S. Morisson, Dasar-Dasar................, hlm: 327.
[5] Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi untuk Anak Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta: Katahati, 2010), hlm. 106.
[6] Kosasih. E, Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus, Cet.1 (Bandung: Yrama Widya, 2012), hlm.45-46.
[7] Anne Nurfarina, Penelitian: Kreatif Dalam Konteks Pendidikan Seni Bagi Anak Autis (Sebuah Tinjauan Teoritis tentang Kreativitas),(Bandung: DKV STISI Telkom, 2011), hlm 13.
[8] Edi Purwanta, Modifikasi.............., hlm 115.
[9] Yayasan Autisme Indonesia, Panduan Kurikulum Untuk Autisme Kemampuan Awal, (Jakarta: YAI).