Kamis, 10 Desember 2015

Resensi Baca Buku Minggu Ini



Resensi Buku | “A Simple Life” Desi Anwar: Simplicity In Everyday Complexity
http://tersapa.com/resensi-buku-a-simple-life-desi-anwar-simplicity-in-everyday-complexity/

Judul : A Simple Life | Penulis : Desi Anwar | Penerbit : Gramedia Pustaka Utama | Cetakan : I, Desember 2014 | Bahasa: Inggris | Tebal: 288 halaman | Harga: Rp115.000 | ISBN : 978-602-03-1148-7

Jangan salah sangka, Desi Anwar tidak akan membeberkan pengalaman karirnya dalam buku berjudul “A Simple Life”. Jika Anda berniat mengetahui cerita dan rahasia dibalik kesuksesan Desi Anwar sebagai jurnalis dan penyiar berita senior, maka buku ini bukan lah jawabannya. Di lain sisi, melalui tulisan-tulisan dalam A Simple Life, Desi mengajak pembacanya untuk merenungkan, mencermati dan menikmati hal-hal sederhana yang terjadi dalam hidup. Terkadang hal tersebut seringkali luput dari perhatian, tertimbun oleh berbagai macam kesibukan dan pikiran yang terdistraksi oleh hingar bingar dunia modern. Desi meyakini, ‘berhenti’ sejenak dan mencermati hidup adalah hal yang esensial bagi siapapun yang menginginkan hidup yang lebih damai.
Penulis berhasil mengemas buku ini dengan baik. Setiap coretannya seakan lahir dari perenungan dan pemaknaan mendalam akan kehidupan ala Desi Anwar. Begitu hati-hati namun juga lugas serta menyentuh. Hal unik yang dapat ditemukan dalam A Simple Life adalah penuturan Desi mengenai masa kecilnya. Bagaimana ia dibesarkan oleh kedua orangtuanya dengan cara yang sedikit tidak menyenangkan namun justru memberinya banyak pembelajaran. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan jepretan foto-foto dari berbagai belahan dunia. Foto-foto tersebut merupakan hasil dari kegiatan travelling yang seringkali dilakukan oleh Desi Anwar.
Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Inggris, A Simple Life juga bisa didapatkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Hidup Sederhana”. Buku terjemahan tersebut dibandrol dengan harga Rp98.000. Dengan harga yang tidak terlalu jauh berbeda, ada baiknya jika Anda membeli A Simple Life saja. Karena memahami makna utama yang berusaha disampaikan oleh penulis akan jauh lebih mengena jika kita membaca versi aslinya.
Secara umum, buku ini sangat cocok dinikmati pada musim-musim liburan seperti ini, utamanya di pagi hari dengan ditemani secangkir teh. Membaca A Simple Life seakan menjadi alat untuk me-recharge semangat, sehingga dapat kembali menghadapi aktivitas selepas liburan dengan lebih baik. (chk)






Resensi Buku | “Ma Yan” Potret Kemiskinan dan Diskriminasi Gender

Judul: MA YAN (Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di Pedalaman China untuk Meraih Pendidikan) | Penulis: Sanie B. Kuncoro | Penerbit: PT. Bentang Pustaka | Cetakan: I (edisi III), Juli 2014 | Tebal halaman: viii + 240 halaman | ISBN: 978-602-291-038-1

Apakah kemiskinan merupakan sebuah warisan ataukah keturunan? Pertanyaan itu yang mungkin selalu membayangi kehidupan dari keluarga Ma Yan. Bersama ibu, ayah, dan adik-adiknya ia tinggal di Desa Zhangjiashu, sebuah pedalaman yang kering kerontang. Kehidupannya jauh dari kata berkecukupan, pendapatan orangtuanya jelas tak mencukupi kebutuhan pokok keluarganya. Ayahnya hanyalah seorang buruh serabutan, sedang ibunya bercocok tanam di ladang yang hasil panennya tak pernah memuaskan. Ditambah dengan faktor musim kemarau yang tak berkesudahan, maka lengkaplah sudah ‘persahabatannya’ dengan kemiskinan.
Novel berjudul Ma Yan ini merupakan novel biografi yang diceritakan dengan sudut pandang orang pertama melalui ‘kacamata’ Bai Juhua –ibu Ma Yan, dan Ma Yan sendiri. Ma Yan digambarkan sebagai seorang gadis yang memilliki semangat juang tinggi dan tak pernah mau menyerah. Sedang ibunya, digambarkan dengan seseosok ibu yang akan mengusahakan apapun agar anak-anaknya dapat hidup layak. Tema utama dari novel ini sendiri lebih kepada diskriminasi gender yang kemudian permasalahan mengenai pendidikan dijadikan isu utama dalam penceritaan.
Dalam novel tersebut dikatakan bahwa perempuan dianggap tidak memerlukan pendidikan. Pintu keluar dari segala persoalan perempuan adalah sebuah perkawinan. Dan perempuan agaknya harus senantiasa patuh, meski kepatuhan itu menempatkan dirinya pada hak-hak yang tereliminasi. Anak perempuan dianggap lebih pantas bekerja di ladang ketimbang bersekolah dikarenakan tradisi di sana menganggap bahwa sekolah bagi anak perempuan hanya suatu kesia-siaan belaka sebab yang akan menikmati hasil dari kesuksesan sang anak itu tadi bukanlah orangtuanya, melainkan suaminya.
Tokoh Ma Yan di sini berusaha untuk ‘menghentikan’ disriminasi itu. Baginya, sekolah merupakan tempat persemaian masa depan sekaligus sebuah peluang untuk meraih sesuatu yang lebih besar. Menghentikan garis kemiskinan dan jalan untuk keluar dari penderitaan. Apapun konsekuensinya, tak peduli sekalipun demi mencapai sekolah ia harus berjalan sejauh 20 kilometer dengan segala rintangan bahaya yang menghadang dan tak peduli sekalipun itu berarti ibunya harus mengosongkan mangkuk nasinya.
Secara keseluruhan, pembingkaian tema dan eksekusi cerita yang diangkat pada novel ini terbilang sangat baik. Disamping menjadi sebuah novel, cerita di dalamnya sebetulnya juga dapat dijadikan sebagai buku motivasi. Kisah Ma Yan mengajak kita untuk muhasabah diri. Bercermin dan menengok ke bawah serta jangan pernah lupa untuk mengungkapkan syukur kepada yang Kuasa.





Resensi Buku | Rapor Merah Untuk “Sabtu Bersama Bapak”
http://tersapa.com/resensi-buku-rapor-merah-untuk-sabtu-bersama-bapak/

Judul: Sabtu Bersama Bapak | Penulis: Adhitya Mulya | Penerbit : GagasMedia | Cetakan : IX, 2015 | Tebal: 277 halaman | Harga: Rp 48.000 | ISBN : 979-780-721-5

Bagi para pecinta buku, gagasan untuk membeli Sabtu Bersama Bapak nampaknya perlu dipikirkan matang-matang kembali. Tingginya rating dalam situs Goodreads, stempel bestseller, dan naiknya novel ini menuju cetakan kesepuluh ternyata tidak menjamin kualitas yang sebanding.
Poin minus dari Sabtu Bersama Bapak terletak pada gaya bahasa yang dihadirkan oleh Adhitya Mulya. Gaya bahasa yang sederhana memang dapat membantu pembaca untuk melahap isi novel dengan lebih cepat. Namun, hal tersebut justru kurang dapat menggugah perasaan pembaca. Seakan-akan, Sabtu Bersama Bapak terkesan sebagai bacaan sambil lalu saja. Dalam novel ini, penulis juga sangat sering menghadirkan lelucon mengenai status jomblo untuk mempertegas malangnya nasib Cakra yang belum menemukan kekasih. Mungkin bagi sebagian kalangan, lelucon tersebut dinilai begitu menarik. Namun di sisi lain, pemosisian lelucon sering kali sangat tidak pas dan tak jarang terasa begitu janggal. Keberadaan footnote-footnote yang tidak bernilai informatif juga sangat mengganggu kenikmatan membaca.
Sabtu Bersama Bapak sendiri berkisah mengenai keseharian Satya, Cakra, dan Ibu Itje tanpa kehadiran Bapak Gunawan yang mereka sayangi. Karena penyakit kanker, Bapak Gunawan terpaksa meninggalkan Satya dan Cakra sejak mereka kecil. Sebagai ganti minusnya kehadiran sosok Bapak dalam keluarga tersebut, Bapak Gunawan telah menyiapkan ratusan video hasil rekamannya yang akan menuntun perjalanan keluarga kecilnya. Pesan-pesan yang disampaikan oleh Bapak Gunawan sangat menarik. Di sisi ini, pembaca seakan diingatkan kembali mengenai hal-hal esensial yang harus diperhatikan dalam menjalani kehidupan, utamanya dalam berkeluarga. Kehadiran pesan sang Bapak tersebut menjadi kekuatan utama dalam novel ini untuk sedikit banyak dapat menyentil hati pembaca.
Hapuskan keinginan untuk mendapatkan novel ini dengan harga yang lebih murah. Pasalnya, Sabtu Bersama Bapak sangat sulit, bahkan mustahil, untuk didapatkan di toko buku diskon. Sebagai gantinya, cukup pinjam saja Sabtu Bersama Bapak kepada teman Anda yang telah terlanjur membelinya. Selamat membaca! (chk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar