Dari
‘Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah
Saw, “Ya Rasulullah, dengan apakah berkelebihan setengah dari yang setengahnya?”
Rasulullah
Saw menjawab, “Dengan akal!”
Kata
‘Aisyah pula, “Dan di akhirat?”
“Dengan
akal juga,” kata beliau.
“Bukankah
seorang manusia lebih dari manusia yang lain dari hal pahala lantaran amal
ibadahnya?” kata ‘Aisyah pula.
“Hai 'Aisyah, bukankah amal ibadah yang mereka kerjakan itu hanya menurut kadar
akalnya? Sekedar ketinggian derajat akalnya, sebegitulah ibadah mereka dan
menurut amal itu pula pahala yang diberikan kepada mereka.”
Sabda
Rasulullah pula. “Allah telah membagi akal kepada tiga bagian; siapa yang cukup
mempunyai ketiga bagiannya, sempurnalah akalnya; kalau kekurangan walau
sebagian, tidaklah ia terhitung orang yang berakal.”
Orang
bertanya: “Ya Rasulullah, manakah bagian yang tiga macam itu?”
Kata
beliau: “Pertama baik ma’rifatnya dengan Allah, kedua, baik taatnya bagi Allah,
ketiga, baik pula sabarnya atas ketentuan Allah.”
Berkata
sebagian hukama,
“Tiap-tiap
sesuatu di dalam alam ini ada batas perjalanannya. Tetapi akal tidak terbatas:
adapun manusia bertingkat-tingkat di dalam derajat akalnya laksana derajat
wangi dari tiap-tiap bunga.”
Derajat
kebahagiaan manusia itu menurut dejarat akalnya, karena akallah yang dapat
membedakan antara yang baik dengan buruk; akal yang dapat menerangkan segala
pekerjaan, akal yang menyelidiki hakikat dan kejadian segala sesuatu yang
dituju dalam perjalanan hidup di dunia ini. Bertambah sempurna, bertambah indah
dan murni akal itu, bertambah pulalah tinggi derajat bahagia yang kita capai. Kepada
kesempurnaan akallah kesempurnaan bahagia.
Bertambah
luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah datanglah bahagia. Bertambah
sempit akal, bertambah sempit pula hidup, bertambah datanglah celaka.
Oleh
agama perjalanan bahagia itu telah diberi batas. Puncaknya yang penghabisan
ialah kenal akan Tuhan, baik ma’rifatnya kepada-Nya, baik taat kepada-Nya dan
baik sabar atas musibah-Nya. Tidak ada lagi hidup di atas itu!
Bahwa
segala sesuatu di alam ini baik dan buruknya bukanlah pada zat sesuatu itu, tetapi
pada penghargaan kehendak lita atasnya, menurut tinggi rendahnya akal kita.
Pekerjaan
akal yang paling berat ialah membedakan mana yang buruk dan mana yang baik,
serta memahamkan sesuatu. Dengan akal saja belumlah cukup untuk mencapai
bahagia, karena akal akan berhenti perjalanannya sampai kepada membedakan dan
memahamkan. Yang menjadi perantara antara akal dengan bahagia, ialah iradah.
Iradah
adalah kekuatan nafsiyah kita, pada kedirian kita, yang tidak dapat berpisah
dari hajat, hidup.
Maka
tidaklah susah mencapai bahagia, menurut agama, kalau telah tercapai empat
perkara, yaitu i’tikad yang bersih, yakin, iman, dan Agama.
Rasulullah
bersabda, “Bahagia itu ialah tetap taat
kepada Allah sepanjang umur.”
(Bahagia
itu Dekat dengan Kita, Ada di dalam Diri Kita- Mutiara Falsafah Buya Hamka
dalam Tasawuf Modern)