“Tumbuhkan AQ
(Adversity Quotient)! Mempersiapkan Anak Menghadapi Tantangan”
Oleh: Artie Teja
Tantangan bukanlah sesuatu yang tidak mampu ditaklukkan. Siapa
yang tidak mau berhasil melalui tantangan dengan mudah? Ya..Jawabnya semua
pasti mau tapi apa yang harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan. Mungkin
masih terasa asing bila kita menyebut AQ, pada umumnya untuk masuk dalam program
akselerasi harus diadakan identifikasi kepada calon akseleren menyangkut tiga
kriteria, meliputi Intelligent Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan
Spiritual Quotient (SQ). Dewasa ini dikalangan pendidik yang lebih mementingkan
IQ perlahan mulai tergeser sehingga sebagian kalangan pendidikan mulai
merasakan pentingnya mengembangkan EQ dan SQ dalam mencapai sebuah kesuksesan.
Namun rupanya itu belum cukup, masih ada AQ. Hal tersebut
diperkuat Stoltz (2000) yang mengemukakan bahwasanya AQ memegang peranan penting dalam mencapai prestasi belajar selain faktor
IQ. Selama ini kita terfokuskan dengan IQ, EQ, dan SQ
jarang sekali anak-anak dipersiapkan kecerdasannya dalam menghadapi tantangan
atau dengan bahasa kerennya dipersiapkan untuk menjadi individu “tahan
banting-mental baja”.
Yuk kita kenali apa itu AQ!
Pemahaman AQ (Adversity
Quotient) Secara Teori
Adversity didefinisikan sebagai tantangan dalam kehidupan.
Adversity Quotient (AQ), bagian dari kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
mengatasi berbagai problema hidup dan kesanggupan seseorang bertahan hidup.
Untuk mengetahui AQ seseorang dapat dilihat sejauh mana orang tersebut mampu
mengatasi persoalan hidup bagaimanapun beratnya, dengan tidak putus asa. Teori
Adversity Quotient (AQ) yang dipublikasikan oleh Dr. Paul G. Stoltz, Ph.D
merupakan terobosan penting dalam pemahaman manusia tentang apa yang dibutuhkan
untuk mencapai kesuksesan. Secara sederhana AQ diartikan sebagai kecerdasan
seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan dalam kehidupan sehari-hari
(Stoltz, 2000).
AQ merupakan faktor utama dalam menentukan sebuah pendakian
menuju kesuksesan. Didalam tubuh AQ dibangun oleh tiga ilmu pengetahuan. Tiga
cabang ilmu pengetahuan ini adalah Psikologi kognitif, ilmu kesehatan yang
baru, dan ilmu pengetahuan tentang otak. Psikologi kognitif merupakan hal yang
mengenai adanya pemahaman seseorang dalam bentuk motivasi, efektivitas, dan dan
kinerja manusia. Ilmu kesehatan yang baru meliputi cara seseorang bagaimana
merespon keadaan dirinya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa dan dapat
mengendalikan akibat dalam kesehatannya dan kemampuannnya dalam mendaki
kesuksesan. Berdasarkan penjelasan Dr. Nuwer bahwa proses belajar berlangsung
di otak bawah sadar (otak yang berwarna kelabu). Namun, jika seseorang
mengulang kembali pola pikiran atau prilaku yang baru, hal ini akan berpindah
ke otak bawah sadar yang bersifat otomatis (Stoltz, 2000).
Paul G Stoltz dalam Adversity
Quotient membedakan tiga tingkatan AQ dalam masyarakat, yaitu:
- Tingkat quitrers ( orang yang
berhenti). Quiters adalah orang yang paling lemah AQ nya. Ketika ia
menghadapi berbagai kesulitan hidup ,ia berhenti dan langsung menyerah.
- Tingkat Campers ( Orang yang
berkemah ). Campers adalah orang yang memiliki AQ sedang.Ia puas dan cukup
atas apa yang telah dicapai dan enggan untuk maju lagi.
- Tingkat Climbers ( orang yang
mendaki ). Climbers adalah orang yang memilikiAQ tinggi dengan kemampuan
dan kecerdasan yang tinggi untuk dapat bertahan menghadpi
kesulitan-kesulitan dan mapu mengatasi tantangan hidup.
Tidak jarang dalam kehidupan ada individu yang memiliki IQ
tinggi kalah bersaing dengan individu lain yang ber-IQ relatif lebih rendah
namun lebih berani menghadapi masalah dan bertindak. Mengapa sampai seperti
itu? Ada kemungkinan yang terjadi yakni ada individu yang menjadi kampiun,
mundur di tengah jalan, dan ada yang tidak mau menerima tantangan dalam
menghadapi masalah rumit (tantangan) tersebut. Katakanlah dengan AQ dapat
dianalisis seberapa jauh individu mampu mengubah tantangan menjadi peluang.
Sesuai dengan pandangan Paul G. Stoltz (2000) menurutnya kecerdasan intelektual
(IQ) tidak cukup sebagai tolak ukur kesuksesan seseorang. Banyak orang yang memiliki
IQ yang tinggi tetapi tidak dapat memaksimalkan potensinya, sedangkan orang
yang memiliki IQ yang sedang–sedang saja dapat memaksimal potensi yang
dimilikinya.
Menurut Stolz, ada tiga golongan orang ketika dihadapkan pada
suatu tantangan pendakian gunung. Yang pertama yang mudah menyerah (quiter).
Mereka tidak tahan pada serba yang berisi tantangan. Mudah putus asa dan
menarik diri di tengah jalan. Golongan yang kedua (camper) bersifat banyak
perhitungan. Walaupun punya keberanian menghadapi tantangan namun dengan selalu
memertimbangkan resiko yang bakal dihadapi. Golongan ini tidak ngotot untuk
menyelesaikan masalah karena berpendapat sesuatu yang secara terukur akan
mengalami resiko. Sementara golongan ketiga (climber) adalah mereka yang ulet dengan
segala resiko yang bakal dihadapinya mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan
baik.
AQ memiliki empat
dimensi penyusun. Penyusunnya disebut CORE yaitu:
- C (Control/kontrol), dengan
control diri inilah seseorang bisa mengendalikan dirinya dengan permasalahan
yang ada, sehingga dapat mengontrol emosi secara lebih baik.
- O (Ownership/origin), yaitu
asal-usul dan pengakuan diri dengan mengetahui dan faham tentang asal-usul
dari sebuah permasalahan maka akan merasa yakin terhadap pengakuan dirinya
untuk dapat membereskan dan cepat menyelesaikan permasalahan yang ada.
- R (Reach/jangkauan), dengan
jangkauan yang tinggi individu bisa membatasi masalah agar tidak merambat
ke bidang-bidang yang lain sehingga motivasi untuk cepat menyelesaikan
masalah bisa terealisasikan dengan baik.
- E (Endurance/kemampuan), dengan
kemampuan atau daya tahan yang kuat membuat individu yang menghadapi
permasalahan dapat lebih tegar, berani, dan tentunya yakin akan dapat
menyelesaikan semua yang akan menghalanginya untuk meraih apa yang dicita-citakan
sehingga kemampuan dalam menghadapi permasalahan lebih kuat.
Dalam pengembangannya Stoltz (2000) merumuskan factor-faktor pembentuk
AQ seseorang diantaranya yaitu:
a. Daya saing, menurut Martin Seligman (Stoltz,2000) seseorang yang memiliki
AQ rendah ketika mengalami ketidakberdayaan, akan kehilangan kemampuan untuk
menghadapi tantangan tersebut.
b. Produktivitas, penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2004) menunjukkan
bahwa seseorang yang merespon kesulitan secara konstruktif memiliki peningkatan
kinerja lebih baik ketimbang orang yang merespon secara destruktif.
c. Motivasi, dalam penelitian Stoltz (2000) menemukan bahwa orang-orang
yang memiliki AQ tinggi merupakan orang-orang yang memiliki motivasi tinggi.
d. Mengambil resiko, Satterfield dan Seligman (Stoltz,2000) menemukan bahwa
orang-orang yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif bersedia mengambil
lebih banyak resiko sehingga dapat mengatasi hambatan-hambatan dengan lebih
baik.
e. Perbaikan secara terus menerus akan membantu seseorang
bertahan mengalami kegagalan-kegagalan yang dihadapi.
f. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus-menerus berusaha.
g. Belajar, menurut Carol Dweck (Stoltz, 2000) membuktikan bahwa
anak-anak yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih
berprestasi dibandingkan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih
pesimistis.
h. Merangkul perubahan, dalam penelitian Stoltz (2000) menemukan bahwa orang-orang
yang memeluk perubahan cenderung merespon kesulitan secara lebih konstruktif.
i. Keuletan, psikolog anak Emmy Werner (Stoltz,2000) menemukan bahwa
anak–anak yang ulet adalah perencana–perencana, mereka yang mampu menyelesaikan
masalah, dan mereka yang bisa memanfaatkan peluang.
Dengan demikian AQ dapat dipandang sebagai ilmu yang
menganalisis kegigihan manusia dalam menghadapi setiap tantangan
sehari-harinya. Kebanyakan manusia tidak hanya belajar dari tantangan tetapi
mereka bahkan meresponnya untuk memeroleh sesuatu yang lebih baik. Individu
yang memiliki AQ yang tinggi akan lebih bertahan dengan keadaan yang ada.
Siap mengasah AQ sejak
dini
Orang yang tahan banting kata Paul, tidak akan terlalu
menderita terhadap akibat negatif yang berasal dari kesulitan. Kemampuan ini
harus dibangun sejak seseorang masih kanak-kanak.
Melatih AQ anak agar mampu menghadapi berbagai hambatan dalam
keseharian adalah cara yang utama harus kita lakukan secara kontinyu,
berlangsung terus-menerus (konsisten). Dalam melatih AQ juga dibutuhkan
keteladan dari sikap orang dewasa di sekitarnya, terutama orangtua dan
pendidik. Dalam keseharian kita dapat melatih anak untuk sabar dengan tidak
selalu menuruti kemauan anak, mengajarkan anak mematuhi aturan atau jadwal
harian yang telah dibuat orangtua. Dalam mendidik anak sikap otoritas orangtua
tetap harus ada. Orangtua adalah orang yang bertanggung jawab atas pendidikan
anak, mereka adalah teladan utama yang pertama, lingkup terkecil dalam
kehidupan anak. Orangtua juga harus mampu menunjukan sikap mental yang tidak
mudah menyerah jika menghadapi kesulitan.
Sikap tanggung jawab, tidak mudah menyerah, dan disiplin
adalah bagian dari mengajarkan anak menghadapi tantangan kehidupan. Bila
orangtua tidak berusaha mengasah kemampuan AQ ini, tentu bisa menimbulkan
dampak yang tidak baik. Dampak yang akan ditimbulkan akan sangat mempengaruhi
pembentukan kedewasaan anak, misal anak tidak mampu membuat keputusan, mudah
putus asa, manja (tidak mandiri), dan dampak terburuk anak akan mudah
terpengaruh hal-hal negatif. Tentu saja kita menginginkan anak tumbuh dengan baik
dan siap menghadapi tantangan (kesulitan) dalam hidupnya ada dan tanpa ada
orangtua. Jika anak
dilatih bagaimana caranya menghadapi kesulitan, maka akan terbangun mentalitas
anak yang kuat, yakni tidak cengeng, tidak menyerah menghadapi kesulitan.
Menurut psikolog Melva
Tobing,M.Psi, pola asuh berikut ini dapat membentuk rendahnya AQ pada
anak-anak:
· Orangtua
dengan pola asuh over-protection dan kasih sayang berlebihan yang tidak pada
tempatnya. Hal ini membunuh kemandirian anak-anak.
· Orangtua
dengan pola pengasuhan yang bertentangan. Ayah melakukan dengan cara A, Ibu
melakukan dengan cara B. Itu dapat menimbulkan kebingungan pada anak-anak
karena melihat orangtua mereka tak kompak di dalam mendidik.
Pola asuh dan pola didik yang mengajarkan ketakberdayaan itu
kata Paul bisa diputus dan diubah secara tetap dengan cara-cara yang dapat
membangun kekuatan mental dan daya juang anak. Di antara caranya adalah dengan
mengajarkan keberdayaan sejak masih usia dini; dalam menjelaskan segala sesuatu
orangtua harus selalu optimis bukan pesimis. Akibatnya di masa anak sudah dewasa
menurut dapat meningkatkan kinerja, produktivitas, energi, motivasi, kemauan
untuk belajar, kreativitas, keberanian mengambil risiko, kesehatan, keuletan
dan ketekunan. Oleh sebab itu,
penting sekali menumbuhkan AQ anak agar kelak mereka mampu menghadapi tantangan
ataupun hambatan dalam kehidupan serta keseharian mereka. Cara-cara berikut ini
dapat dilakukan oleh para orangtua untuk menumbuhkan daya tahan pada anak-anak:
- Membiarkan anak melakukan tanggung jawabnya secara pribadi seperti menyelesaikan tugas ataupun PR secara mandiri, menyiapkan buku pelajaran setiap harinya, dan lain-lain sesuai dengan usia perkembangan anak.
- Melibatkan anak dalam pengambilan keputusan seperti menentukan les atau ekstrakurikuler yang hendak diikuti, memilih jurusan bidang studi atau perkuliahan, menentukan tempat berlibur bersama, dan lainnya.
- Tidak langsung memberikan sesuatu yang diinginkan anak, namun mencoba memberikan syarat untuk mendapatkannya. Itu akan melatih anak untuk menunda pemenuhan keinginannya.
- Membuat peraturan di rumah yang dipahami dan disepakati bersama antara anak dan orangtua. Tentukan juga konsekuensi yang jelas dari pelanggaran terhadap peraturan tersebut. Itu akan melatih anak untuk memiliki batasan dalam bertingkah laku tentang hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
- Beri penghargaan ketika anak dapat menyelesaikan tugas atau tanggung jawabnya dengan baik. Hindari kata-kata negatif yang merendahkan.
- Mengembangkan panca indra. Kesulitan ada di mana pun. Ketika anak masih kecil, ia mengalami berbagai kesulitan. Ada temannya yang suka mengejeknya atau bahkan memukulnya, jatuh dari tangga, dicakar kucing kesayangannya, kesulitan dalam pelajaran, dimarahi guru, ingin memiliki mainan tertentu tapi Anda tak membelikannya, dsb. Kesulitan-kesulitan itu bukan tak ada jalan keluarnya. Anda bisa mengasah panca indranya untuk tajam melihat kesulitan yang mungkin menghadangnya. Misalnya, minta anak memperhatikan teman-temannya yang usil atau nakal terhadapnya dan mengamati kapan biasanya ia mulai usil. Atau, jika dimarahi guru karena tak membuat PR, maka ingatkan anak untuk selalu mengerjakan PR-nya, jika tak mengerjakannya, ia harus punya jawaban mengapa ia tak mengerjakannya dan siap dengan konsekuensinya. Ingin memiliki benda tertentu? Mintalah ia berpikir bagaimana mendapatkannya. Secara tak langsung Anda mengasah indra anak untuk siap menghadapi kesulitan.
- Mendukung eksplorasi Anak, terutama balita, berada dalam masa eksplorasi, ingin menjajaki segala sesuatu yang menarik perhatiannya. Misal, menarik buntut kucing yang lewat di depannya, berusaha naik tangga yang tersandar di dinding rumah, atau main pisau seakan sebuah sendok layaknya. Bagaimana menghadapi kelasakan anak yang adakalanya berbahaya? Melarangnya, mengecam, mengkritik jika berbahaya atau anak gagal melakukannya? Cara tersebut menurut Paul G. Stoltz bisa menimbulkan rasa bersalah yang produktif maupun yang tidak produktif. Jika respon Anda baik, akan timbul rasa bersalah yang produktif, yakni anak bisa menerimanya, berusaha lebih baik, bahkan membentuk integritas dan mentalnya. Sedangkan respon negatif–kritik, kecaman misalnya, melahirkan rasa bersalah yang tidak produktif. Anak bisa tidak mau berusaha lagi.
- Latihan Menganalisa: Mengapa Gagal? Daripada mengecamnya lebih baik latihlah anak untuk menganalisa mengapa ia mengalami kegagalan? Misal, tidak mau maju di depan kelas untuk menyanyi; tidak bisa membuat untaian manik; menakali temannya; atau tidak mengerjakan PR nya. Mengapa demikian? Dari jawaban anak Anda bisa mengajaknya mencari jalan keluar dari masalahnya.
- Motivasi: Kamu Bisa! Paul menengarai bahwa pola asuh orangtua kerap menghambat perkembangan anak. Seperti pengasuhan yang serba melayani kebutuhan anak yang membuat anak terbiasa tak berdaya. Di dunia sekolah juga demikian. Banyak guru yang kurang mampu memotivasi anak didiknya dan memberi label negatif “Kamu tidak mampu,” “bodoh,” dsb. Cobalah ganti gaya pengasuhan Anda, beri anak motivasi untuk melakukan segala sesuatunya sendiri. Bahwa ia bisa, ia punya kekuatan untuk bisa. Jika gagal sekali misalnya, doronglah untuk mencobanya lagi dan lagi.
- Harus ada Bukti dari Kegagalan. Anak-anak senang bilang, “aku nggak bisa. Mama saja deh yang melakukan.” jangan terpancing rengekan anak. Tegaskan bahwa ia harus membuktikan kalau ia tidak bisa atau ia bisa. Anda bisa lengkapi permintaan Anda dengan bukti bahwa anak-anak yang dilahirkan cacat (tanpa tangan kaki misalnya) ternyata bisa menulis, makan, atau melakukan kegiatan lain yang dilakukannya sendiri.
- Selalu optimis, Paul meyakini bahwa sikap optimis akan melahirkan orang yang tahan banting. Sikap optimis akan memberinya kesehatan fisik dan mental dalam menghadapi berbagai kesulitan. Karena itu, ajarkan anak untuk selalu optimis dalam semua aktivitasnya maupun keinginan-keinginannya. (dari berbagai sumber)
Anak yang memiliki AQ yang tinggi maka ia akan mengerahkan
segala potensi yang dimiliki untuk meraih prestasi atau dapat memberikan yang
terbaik. Dengan memiliki AQ yang tinggi, anak akan selalu termotivasi untuk
berprestasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Stoltz (2000), untuk sukses
seseorang harus memiliki bakat dan motivasi dalam dirinya.
Pandangan Agama Islam terhadap
AQ
Secara pemahaman agama Islam, AQ mempunyai hubungan dengan
tawakal. Bagaimana sikap kita dalam menghadapi sebuah tantangan dalam hidup. Tawakal
adalah penyerahan segala ikhtiar atau usaha yang dilakukan kepada Allah SWT
serta berserah diri sepenuhnya kepada-Nya, memiliki keyakinan yang benar
tentang kekuasan dan kehendak Allah SWT, serta merasa tenang, tentram dan
bahagia, terhadap situasi yang dialami dari pengaruh lingkungan yang berada
disekelilingnya meskipun dalam keadaan senang dan susah. Mengajarkan tawakal
kepada anak sejak dini bukanlah hal yang mudah tetapi bukan hal yang sulit
juga.
Apa saja indikator tawakal yang dapat melatih kemampuan AQ, indikator tawakal tersebut adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah
SWT setelah berusaha semaksimal mungkin, memiliki keyakinan yang benar tentang
kekuasaan dan kehendak Allah SWT dan memasrahkan kepada-Nya, dan memiliki rasa
tenang dan tentram dalam kondisi apa pun.
Keyakinan yang dimiliki seseorang akan keberhasilannya kelak
harus tertanam dalam setiap diri seseorang. Salah satu cara yang dapat
dilakukan yakni melalui tahapan atau prosedur yang terdiri dari 2 langkah yaitu
mengurung ketakutan dengan cara memfokuskan apa yang ditakutkan dan
mengunci/mengurung ketakutan dengan rapat di dalam hati.
Sumber:
Stoltz, Paul. G., Ph.D. 1997. Adversity Quotient : Mengubah
Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: Grasindo.
Daya Tahan Anak Hadapi Kesulitan oleh Melva Tobing, M.Psi.,
Psi.
Berbagai majalah ibu dan anak