Menjamurnya
pendidikan anak usia dini melalui pendidikan nonformal mengakibatkan tidak
terkontrolnya penanganan terhadap anak-anak usia dini dengan baik, padahal masa
emas tersebut merupakan masa-masa yang teramat penting dan tidak dapat datang
untuk yang kedua kalinya dalam pembentukan otak, fisik dan jiwa seorang anak.
Saat
ini pengembangan PAUD di Indonesia telah menimbulkan dilema, upaya untuk dapat
memberikan pelayanan PAUD kepada setiap anak yang ada di Indonesia, akan tetapi
banyak hal yang tidak dapat dipenuhi dengan semestinya. Dan ini bisa
menyebabkan perkembangan anak yang tidak optimal sesuai, malah akan
membahayakan bila tidak ditangani secara cepat dan tepat karena semua ini
berhubungan persiapan segenap potensi yang ada guna dapat membangun seorang
insan manusia dalam mengarungi kehidupannya kelak.
Pertama,
sesuai dengan PP 19 maka seluruh Pendidik PAUD minimal adalah strata satu.
Permasalahannya bagaimana mungkin dapat membuat S1 semua Pendidikan PAUD sejumlah
359 ribu orang (sumber data dari Ditjen PMPTK) orang untuk dapat melayani 28
juta orang anak usia dini.
Bahkan
persoalan selanjutnya adalah bahwa ternyata hampir sebagian besarnya merupakan
lulusan dari SMP dan SMA, hanya sebagian kecil S1. Atau permasalahan
selanjutnya adalah sedemikian pentingkah kualifikasi tersebut bagi seorang
Pendidik PAUD? Bahkan Prodi untuk khusus Jurusan PAUD hanya sedikit di
Indonesia, bisa dihitung dengan jari, bagaimana mungkin dapat dikejar semuanya
mengingat masa-masa emas anak-anak tersebut tidak bisa dihentikan waktunya.
Kedua,
pembangunan kompetensi SDM dari Pendidik PAUD sebagai ujung tombak pengajar
bagi anak-anak kita. Ini juga tidak boleh dilakukan setengah-setengah. Bila
diharapkan dapat meningkatkan kompetensi mereka melalui diklat-diklat, maka
pertanyaannya adalah seberapa baik kualitas dari diklat tersebut? Seberapa
banyak pemerintah mampu melakukan diklat terhadap Pendidik PAUD?
Ketiga,
aspek keibuan secara mental seorang pendidik PAUD, mereka pada dasarnya mereka
belum mengerti aspek kejiwaan seorang anak secara kejiwaan karena mereka tidak
mengandung atau mengerti rasanya mempunyai seorang anak. Sedangkan dari diklat
mereka baru mengetahui tentang kemampuan membaca dan menulis atau kemampuan
motoriknya juga aspek kejiwaan dari seorang anak secara teoritis.
Keempat,
kecilnya insentif yang diberikan kepada Pendidik PAUD, bahkan dibeberapa
wilayah ada yang dibayar dengan menukarkan dengan beras, sayur mayur, dsb.
Bahkan Pemerintah melalui Dit. PTK-PNF sampai saat ini baru bisa memberikan
insentif sebesar Rp 600 ribu per tahun, itu pun tidak semua Pendidik PAUD,
masih amat terbatas. Bagaimana mungkin mereka dapat mendidik anak-anak kita
dengan baik, mereka sendiri sedang dalam kesulitan dalam hidupnya, ironis bukan.
Lalu,
tersebarnya penanganan PAUD dalam berbagai instansi Pemerintah menyebabkan
kurangnya koordinasi dengan baik, sehingga penanganannya terkadang menjadi
tidak fokus atau bias atau tidak berkesinambungan. Ada baiknya Pemerintah
menyatukan keseluruhannya sebagai bentuk perhatian terhadap PAUD dengan
membentuk Direktorat Jenderal khusus yang menangani PAUD ini. Sehingga semua
bentuk program atau kegiatan akan terkoordinasi dengan baik dan dapat melakukan
sebuah perencanaan yang lebih matang.
Saat
ini Pemerintah sepertinya mengutamakan melayani anak usia dini berdasarkan
kuantitas bukan kualitas. Hal ini sungguh berbahaya karena pendidikan itu bukan
sebuah pembangunan insan secara utuh, jadi sesungguhnya kedua-duanya tidak
dapat dipisahkan. Jangan samakan pendidikan dengan kemiskinan, perbedaan
keduanya amatlah besar.
Keberhasilan
yang dilakukan dengan PAUD Pendidikan NonFormal tersebut ternyata berdampak
dengan adanya sebutan "saling berebut lahan", demikian sebutannya
ketika adanya kecemburuan antara penanganan PAUD melalui formal, melalui TK,
dengan penaganan PAUD melalui pendididikan nonformal seperti Kelompok Bermain,
Tempat Penitipan Anak, dsb.
Salah
satu penyebabnya adalah karena program PAUD yang dilaksanakan oleh Dit. PAUD
biayanya tidak mahal dibandingkan dengan program PAUD pada pendidikan formal
bahkan sering kali gratis. Ini tidak terlepas dari curahan anggaran yang
diberikan kepada PAUD NonFormal yang demikian luas tersebar dan cukup besar
jumlahnya.
Faktor
yang lain adalah bahwa sifat dari pendidikan nonformal ini menyebabkan setiap
lapisan masyarakat yang peduli dan simpati dengan PAUD akan berlomba-lomba
untuk dapat melaksanakannya, bahkan sebagian karena perhatian mereka terhadap
komunitas mereka, demi masa depan anak cucu mereka mereka.
Inilah
yang dinamakan dengan dilema, dimana kita amat sangat mengetahui bahwa PAUD itu
teramat penting dan amatlah riskan bila tidak ditangani oleh orang-orang yang
profesional.
Namun
bila ini harus dipenuhi maka semakin tidak terlayani pendidikan anak usia dini
yang ada di Indonesia karena keterbatasan SDM bahkan mungkin juga sarana
prasarana atau anggaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar