Resensi Buku | “A Simple Life” Desi Anwar: Simplicity In
Everyday Complexity
http://tersapa.com/resensi-buku-a-simple-life-desi-anwar-simplicity-in-everyday-complexity/
Judul : A Simple Life | Penulis : Desi Anwar | Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama | Cetakan : I, Desember 2014 | Bahasa: Inggris | Tebal:
288 halaman | Harga: Rp115.000 | ISBN : 978-602-03-1148-7
Jangan salah sangka, Desi Anwar tidak akan membeberkan
pengalaman karirnya dalam buku berjudul “A Simple Life”. Jika Anda berniat
mengetahui cerita dan rahasia dibalik kesuksesan Desi Anwar sebagai jurnalis
dan penyiar berita senior, maka buku ini bukan lah jawabannya. Di lain sisi,
melalui tulisan-tulisan dalam A Simple Life, Desi mengajak pembacanya untuk
merenungkan, mencermati dan menikmati hal-hal sederhana yang terjadi dalam
hidup. Terkadang hal tersebut seringkali luput dari perhatian, tertimbun oleh
berbagai macam kesibukan dan pikiran yang terdistraksi oleh hingar bingar dunia
modern. Desi meyakini, ‘berhenti’ sejenak dan mencermati hidup adalah hal yang
esensial bagi siapapun yang menginginkan hidup yang lebih damai.
Penulis berhasil mengemas buku ini dengan baik. Setiap
coretannya seakan lahir dari perenungan dan pemaknaan mendalam akan kehidupan
ala Desi Anwar. Begitu hati-hati namun juga lugas serta menyentuh. Hal unik
yang dapat ditemukan dalam A Simple Life adalah penuturan Desi mengenai masa
kecilnya. Bagaimana ia dibesarkan oleh kedua orangtuanya dengan cara yang
sedikit tidak menyenangkan namun justru memberinya banyak pembelajaran. Selain
itu, buku ini juga dilengkapi dengan jepretan foto-foto dari berbagai belahan
dunia. Foto-foto tersebut merupakan hasil dari kegiatan travelling yang
seringkali dilakukan oleh Desi Anwar.
Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Inggris, A Simple Life
juga bisa didapatkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Hidup Sederhana”.
Buku terjemahan tersebut dibandrol dengan harga Rp98.000. Dengan harga yang
tidak terlalu jauh berbeda, ada baiknya jika Anda membeli A Simple Life saja.
Karena memahami makna utama yang berusaha disampaikan oleh penulis akan jauh
lebih mengena jika kita membaca versi aslinya.
Secara umum, buku ini sangat cocok dinikmati pada
musim-musim liburan seperti ini, utamanya di pagi hari dengan ditemani
secangkir teh. Membaca A Simple Life seakan menjadi alat untuk me-recharge
semangat, sehingga dapat kembali menghadapi aktivitas selepas liburan dengan
lebih baik. (chk)
Resensi Buku | “Ma Yan” Potret Kemiskinan dan
Diskriminasi Gender
Judul: MA YAN (Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di
Pedalaman China untuk Meraih Pendidikan) | Penulis: Sanie B. Kuncoro |
Penerbit: PT. Bentang Pustaka | Cetakan: I (edisi III), Juli 2014 | Tebal
halaman: viii + 240 halaman | ISBN: 978-602-291-038-1
Apakah kemiskinan merupakan sebuah warisan ataukah
keturunan? Pertanyaan itu yang mungkin selalu membayangi kehidupan dari
keluarga Ma Yan. Bersama ibu, ayah, dan adik-adiknya ia tinggal di Desa
Zhangjiashu, sebuah pedalaman yang kering kerontang. Kehidupannya jauh dari
kata berkecukupan, pendapatan orangtuanya jelas tak mencukupi kebutuhan pokok
keluarganya. Ayahnya hanyalah seorang buruh serabutan, sedang ibunya bercocok
tanam di ladang yang hasil panennya tak pernah memuaskan. Ditambah dengan
faktor musim kemarau yang tak berkesudahan, maka lengkaplah sudah
‘persahabatannya’ dengan kemiskinan.
Novel berjudul Ma Yan ini merupakan novel biografi yang
diceritakan dengan sudut pandang orang pertama melalui ‘kacamata’ Bai Juhua
–ibu Ma Yan, dan Ma Yan sendiri. Ma Yan digambarkan sebagai seorang gadis yang
memilliki semangat juang tinggi dan tak pernah mau menyerah. Sedang ibunya,
digambarkan dengan seseosok ibu yang akan mengusahakan apapun agar anak-anaknya
dapat hidup layak. Tema utama dari novel ini sendiri lebih kepada diskriminasi
gender yang kemudian permasalahan mengenai pendidikan dijadikan isu utama dalam
penceritaan.
Dalam novel tersebut dikatakan bahwa perempuan dianggap
tidak memerlukan pendidikan. Pintu keluar dari segala persoalan perempuan
adalah sebuah perkawinan. Dan perempuan agaknya harus senantiasa patuh, meski
kepatuhan itu menempatkan dirinya pada hak-hak yang tereliminasi. Anak
perempuan dianggap lebih pantas bekerja di ladang ketimbang bersekolah
dikarenakan tradisi di sana menganggap bahwa sekolah bagi anak perempuan hanya
suatu kesia-siaan belaka sebab yang akan menikmati hasil dari kesuksesan sang
anak itu tadi bukanlah orangtuanya, melainkan suaminya.
Tokoh Ma Yan di sini berusaha untuk ‘menghentikan’
disriminasi itu. Baginya, sekolah merupakan tempat persemaian masa depan
sekaligus sebuah peluang untuk meraih sesuatu yang lebih besar. Menghentikan
garis kemiskinan dan jalan untuk keluar dari penderitaan. Apapun
konsekuensinya, tak peduli sekalipun demi mencapai sekolah ia harus berjalan
sejauh 20 kilometer dengan segala rintangan bahaya yang menghadang dan tak
peduli sekalipun itu berarti ibunya harus mengosongkan mangkuk nasinya.
Secara keseluruhan, pembingkaian tema dan eksekusi cerita
yang diangkat pada novel ini terbilang sangat baik. Disamping menjadi sebuah
novel, cerita di dalamnya sebetulnya juga dapat dijadikan sebagai buku
motivasi. Kisah Ma Yan mengajak kita untuk muhasabah diri. Bercermin dan
menengok ke bawah serta jangan pernah lupa untuk mengungkapkan syukur kepada
yang Kuasa.
Resensi Buku | Rapor Merah Untuk “Sabtu Bersama Bapak”
http://tersapa.com/resensi-buku-rapor-merah-untuk-sabtu-bersama-bapak/
Judul: Sabtu Bersama Bapak | Penulis: Adhitya Mulya |
Penerbit : GagasMedia | Cetakan : IX, 2015 | Tebal: 277 halaman | Harga: Rp
48.000 | ISBN : 979-780-721-5
Bagi para pecinta buku, gagasan untuk membeli Sabtu Bersama
Bapak nampaknya perlu dipikirkan matang-matang kembali. Tingginya rating
dalam situs Goodreads, stempel bestseller, dan naiknya novel ini menuju
cetakan kesepuluh ternyata tidak menjamin kualitas yang sebanding.
Poin minus dari Sabtu Bersama Bapak terletak pada gaya
bahasa yang dihadirkan oleh Adhitya Mulya. Gaya bahasa yang sederhana memang
dapat membantu pembaca untuk melahap isi novel dengan lebih cepat. Namun, hal
tersebut justru kurang dapat menggugah perasaan pembaca. Seakan-akan, Sabtu
Bersama Bapak terkesan sebagai bacaan sambil lalu saja. Dalam novel ini,
penulis juga sangat sering menghadirkan lelucon mengenai status jomblo untuk
mempertegas malangnya nasib Cakra yang belum menemukan kekasih. Mungkin bagi
sebagian kalangan, lelucon tersebut dinilai begitu menarik. Namun di sisi lain,
pemosisian lelucon sering kali sangat tidak pas dan tak jarang terasa begitu
janggal. Keberadaan footnote-footnote yang tidak bernilai informatif
juga sangat mengganggu kenikmatan membaca.
Sabtu Bersama Bapak sendiri berkisah mengenai keseharian
Satya, Cakra, dan Ibu Itje tanpa kehadiran Bapak Gunawan yang mereka sayangi.
Karena penyakit kanker, Bapak Gunawan terpaksa meninggalkan Satya dan Cakra
sejak mereka kecil. Sebagai ganti minusnya kehadiran sosok Bapak dalam keluarga
tersebut, Bapak Gunawan telah menyiapkan ratusan video hasil rekamannya yang
akan menuntun perjalanan keluarga kecilnya. Pesan-pesan yang disampaikan oleh
Bapak Gunawan sangat menarik. Di sisi ini, pembaca seakan diingatkan kembali
mengenai hal-hal esensial yang harus diperhatikan dalam menjalani kehidupan,
utamanya dalam berkeluarga. Kehadiran pesan sang Bapak tersebut menjadi
kekuatan utama dalam novel ini untuk sedikit banyak dapat menyentil hati
pembaca.
Hapuskan keinginan untuk mendapatkan novel ini dengan harga
yang lebih murah. Pasalnya, Sabtu Bersama Bapak sangat sulit, bahkan mustahil,
untuk didapatkan di toko buku diskon. Sebagai gantinya, cukup pinjam saja Sabtu
Bersama Bapak kepada teman Anda yang telah terlanjur membelinya. Selamat
membaca! (chk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar