Beberapa hari silam saya mendengar sebuah kajian di sbuah radio islam yang menjelaskan tentang bahayanya kita menjadi orangtua pemadam kebakaran. Seanng sekali mendengar parenting sudah di bahas oleh para asatidz di pelbagai media. Penjelasannya menarik sekali, dan saya merasa penting untuk hal ini diketahui oleh kita, para orangtua.
Sebagaimana namanya tugas pemadam kebakaran adalah memadamkan bila ada kebakaran, anak TK juga tau. Ketika api sudah mulai muncul, baru mereka datang, dengan bunyi ‘berisik’, berlari-lari, terburu-buru, menyingkirkan orang lain, berkeringat, berjuang memadamkan api yang smakin lama semakin berkobar.
Ketika tidak ada panggilan darurat, maka mereka ‘ongkang-ongkang kaki’ menunggu, tidak melakukan apa-apa.
Menurut ustadz yang memberi wejangan di radio tersebut, begitulah umumnya yang di lakukan oleh orang tua. Ketika anak nakal, memukul, bertingkah laku negatif, berisik…orangtua datang, menasihati, terburu-buru, marah, mencoba menyelesaikan masalah yang ada dengan ‘semprotan’ yang berlebihan, asal ‘kebakaran’ padam. Sedangkan kalau anak sedang menyenangkan, adem, akur, tenang.. tidak ada pujian sama sekali. Kebiasaan ini membuat anak berpikir bahwa orangtuanya akan memberikan perhatian hanya bila anak bertingkah laku negatif. Ketika positif, tidak ada respon, karena sudah di anggap sewajarnya bertingkah laku begitu. Jadi kalau anak mau dirinya diperhatikan oleh orangtua mereka, mereka harus nakal dulu.. betingkah dulu, baru wajah ibu berpaling dari mesin cuci, panci kotor dan telpon yang benar-benar selalu di tangan itu.
Jadi anak harus di puji kalau akur? ya kalau nggak mau muji, minimal utarakan kesenangan hati anda atas perilakunya yang baik. Jangan cuma perilaku bandelnya aja yang diliat pake kaca pembesar.
Saya, salah satu orang yang pelit memuji. Menurut saya pujian itu hanya dikasih ketika layak diberikan.
Jadi daripada “wah.. anak mama hebat banget sudah mau ke dokter gigi”, saya menggunakan kata “Alhamdulillah.. sudah berani duduk sendiri pas tadi di tambal gigi nya.
Secara kalau ke dokter gigi aja hebat.. kalau dia bikin mobil yang bisa terbang nanti, saya mau bilang apa?
Saya nggak ”eh..anak mama pinter deh.. makanannya di habisin” tapi “Alhamdulillah, makanannya habis, Kaizan tidak mubadzir”
Secara kalau ngabisin makan aja pinter.. kalau dia menang olimpiade fisika international, namanya apa?
Jadi bukan “Gitu dong.. main ama kakak gak berantem-berantem. Keren deh anak mama” Tapi “Alhamdulillah, mama senang melihat anak mama main dengan akur, gitu terus ya nak “
Untuk saya, keren itu kalau dia bisa bertahan berjilbab diantara teman-temannya yang tidak. Bertahan untuk tidak merokok diantara teman-temannya yang mengajak dan merayunya, dan takut sama allah walau saya tidak ada di dekatnya.
Anyway, balik lagi ke orangtua pemadam kebakaran, satu hal yang mau saya tambahkan dari paparan ustad tersebut yang belum ia masukkan ke dalam ‘mutiara nasihat’nya.
Selama saya di Indonesia, saya tidak pernah mendapatkan edukasi dari orang pemadam kebakaran bagaimana untuk mencegah kebakaran. Bagaimana agar kompor tidak meledak, penjelasan akan dimana tempat aman untuk meletakkan lilin ketika lampu mati, bagaimana pertolongan pertama jika listrik korslet dan saklar mengeluarkan api. Sy tidak pernah mendapatkan penjelasan tentang apa yang saya harus lakukan jika api sudah muncul dan bagaimana memadamkannya sebelum pemadam kebakaran tiba, bagaimana membantu orang yang terbakar, dan kalau api sudah besar, apa yang harus saya lakukan.
Jaman saya sekolah di amerika, dari TK sampai SMA, secara reguler ada trip ke stasiun pemadam kebakaran, atau mereka yang ke sekolah kami dan menjelaskan tentang hal-hal ini. Jadi kita tahu bahwa ketika api sudah berkobar pas kita bangun malam, kita harus merangkak menuju pintu karena karbon dioksida yang dihasilkan oleh pembakaran adalah gas yang lebih ringan daripada oksigen, sehingga CO2 akan menguap keatas, dan menginhalasinya akan sangat berbahaya untuk tubuh. Dalam 1 semester, ada beberapa kali kita latihan fire drill, agar ketika kebakaran benar-benar terjadi, anak-anak dan guru tidak berhamburan berlari menyelamatkan diri masing-masing, yang justru bisa menimbulkan bahaya dalam bentuk yang berbeda karena kepanikan yang ada.
Bukan hanya edukasi, ada fasilitas ‘penanggulangan’ yang juga disediakan dalam bentuk alarm yang bisa dibunyikan kapan saja jika kebakaran terjadi. Dan tabung pemadam api disediakan di setiap sudut sekolah, walaupun sekolah negeri.
Sedangkan seperti dinas pemadam kebakaran di negeri ini, kita sebagai orangtua pemadam kebakaran, jarang sekali mengedukasi anak tentang cara bagaimana menyelesaikan masalah. Anak di harapkan tau bagaimana menyelesaikan masalah yang dia hadapi sendiri. Padahal ketrampilan itu tidak datang sepaket dengan kelahiran manusia., seperti kemampuan untuk mengedip dan menelan. Anak diharapkan otomatis tau cara untuk berbagi, bermain dengan akur dengan saudaranya, setiap saat, setiap hari! Padahal mah kan, kalau anak terlahir dengan ilmu untuk tau cara menyelesaikan masalahnya sendiri, untuk apa orangtuanya?
Jadi, kalau pun anda keukeuh menjadi orangtua pemadam kebakaran, please minimal edukasi dulu, baru bantu. Kan anda tidak akan selalu ada disitu utk memadamkan api. Ajarkan cara negosiasi, berbagi, kompromi, sebelum kebakaran tiba. Jangan sudah terbakar.. anak tidak tau bagaimana memadamkan, anda tidak mengajarkan, malah marah-marah.
Saya tidak suka kata terlanjur, jadi motto saya bukan ‘pantang pulang sebelum padam”, karena kalau sudah kadung kebakar, kadang padamnya tidak menyisakan apa-apa lagi. Tapi ‘sedia payung sebelum hujan’, karena akan jauh lebih mudah mencegah daripada mengobati.
#SarraRisman